Minggu, 05 Januari 2020

5 Hal Ini Musnah Jika Sekolah Full Day Diterapkan di Seluruh Indonesia

Menteri Pendidikan Muhadjir melemparkan wacana untuk menyelenggarakan sekolah sepanjang hari atau Fullday School di seluruh Indonesia. Menteri Muhadjir beralasan Fullday School untuk menghindari dampak negatif pergaulan anak-anak. Dengan berada di sekolah sepanjang hari (Fullday School), diharapkan kegiatan anak terpantau oleh sekolah. Selain itu, menurut Menteri Muhadjir beralasan, Fullday School cocok untuk anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sepanjang hari.

Banyak pihak yang menyatakan ketidak-setujuan dengan wacana Full Day School dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir. Antara lain karena ketidaksiapan infrastruktur dan tenaga pendidik. Pihak yang tidak setuju penerapan Full Day School di seluruh penjuru Indonesia karena tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Masa Anak-anak adalah masa bermain, bukan sekolah sepanjang hari


Berikut adalah hal yang hilang dan tidak bisa ditemukan lagi jika Full Day School jadi diterapkan di seluruh Indonesia.

TPQ dan TPA Tidak Akan Ada Lagi
TPQ atau TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) adalah pendidikan untuk anak yang mengajarkan cara membaca dan menulis Al-Quran. Taman pendidikan Alquran ini biasanya dilangsungkan pada sore hari setelah pulang sekolah. Teman mengaji ini biasanya dilaksanakan sekitar waktu salat asar. Jika kebijakan sekolah sepanjang hari alias full day school dari Mendikbud Muhadjir jadi diterapkan, anak tidak bisa lagi mengikuti kegiatan TPQ dan TPA yang ada di rumah masing-masing. Jika tidak ada santri (muridnya) maka otomatis akan tutup.

TPQ dan TPA dengan berbagai macam metode pembelajaran cepat belajar mengaji sudah menyebar merata di seluruh Indonesia. Antara lain metode Dirosati, Tartili, Yanbua, Qiraati, dan lain sebagainya. Masing-masing metode memiliki ketentuan dan cara menguji santri (muridnya) untuk lulus. Selian itu masing-masing kelompok metode mengaji cepat tersebut juga memiliki forum (semacam perlombaan antar-TPQ) yang menggunakan metode sama. Misalnya festival santri dan lomba-lomba. Kegiatan-kegiatan itu juga akan hilang jika full day school diterapkan di seluruh Indonesia. Tidak ada lagi kompetisi di bidang kebaikan.


Penjual Makanan Keliling Tidak ada Lagi
Penjual makanan keliling biasanya melayani kebutuhan makanan ringan bagi anak-anak. Dengan konsumen anak-anak otomatis waktu berjualan untuk berkeliling adalah sepulang sekolah. Jika masih ada di sekolah tidak mungkin penjual makanan keliling berkeliling ke sekolah. Biasanya para penjual di sekolah sudah ditentukan oleh pihak sekolah yang bisa masuk ke dalam lingkungan sekolah. Tidak semua penjual makanan dan mainan keliling bisa masuk ke lingkungan sekolah.

Jika ini terjadi, bisa menjadi beban ekonomi negara. Penjual makanan keliling juga merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang banyak digeluti oleh orang Indonesia. Jika mereka tidak bisa lagi berjualan atau berjualannya tidak maksimal karena tidak ada yang membeli karena anak-anak masih sekolah di full day school, maka dia akan merugi bahkan menjadi pengangguran. Pengangguran yang meningkat tentu membahayakan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang tidak sejahtera menjadi beban bagi negara bahkan bisa membahayakan kedaulatan negara.

Kelereng dan Layang-layang dan Permainan Tradisional Lain
Permainan tradisional yang masih bertahan hingga sekarang dan masih sering dimainkan adalah kelereng dan layang-layang. Kedua permainan ini dimainkan oleh anak-anak hampir di seluruh Indonesia. Anak-anak yang memainkan permainan ini tidak hanya di desa-desa bahkan sampai ke kota besar.

Permainan kelereng biasanya dimainkan saat siang hari sepulang sekolah. Begitu juga dengan layang-layang. Khususnya layang-layang, hanya efektif dimainkan pada sore hari karena memanfaatkan angin yang berhembus. Nah, angin berhembus kencang dan konsisten saat sore hari. Tentu kedua permainan ini tidak bisa dimainkan malam hari saat pulang sekolah full day school yang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan Muhadjir.

Permainan tradisional lainnya juga bisa jadi hilang untuk selama-lamanya dari masyarakat Indonesia karena tidak lagi dimainkan oleh anak-anak yang menghabiskan sepanjang hari di sekolah full day. Sebut saja permainan tradisional egrang (enggrang), permainan yang membutuhkan ketangkasan berjalan menggunakan kayu atau bambu yang tinggi di kedua kaki ini tidak bisa dimainkan saat hari minggu saja. Pada hari minggu biasanya waktu dihabiskan bersama keluarga.

Selama ini, masih banyak waktu luang anak-anak Indonesia untuk bisa bermain tetapi permainan tradisional sudah mulai jarang dimainkan. Bayangkan jika tidak ada waktu bermain sama sekali karena harus sekolah full day dan pulang setelah malam tiba menjelang magrib, pasti mempercepat kepunahan permainan-permainan tradisional Indonesia.

Acara Anak-anak di Televisi Tidak akan Tayang
Beberapa stasiun televisi, baik televisi swasta dan TVRI, memiliki tayangan mata acara yang khusus anak-anak. Segmen penonton anak-anak ini biasanya ditayangkan sepulang sekolah. Jika pulang sekolah sampai sore hari, tentu tayangan anak-anak tidak mungkin lagi punya segmen penonton. Tentu televisi tidak akan menyiarkan sebuah mata acara yang tidak punya penonton.

Padahal acara anak-anak yang tayang di televisi juga berisi muatan positif. Misalnya acara di televisi milik pemerintah TVRI, menampilkan kemampuan-kemampuan anak-anak Indonesia baik dalam bidang tarik suara maupun dalam hal lain. Ada juga acara Si Bolang yang tayang di stasiun televisi swasta. Acara ini menggambarkan kegiatan anak-anak dari seluruh penjuru Indonesia.

Tayangan Si Bolang bahkan melahirkan istilah ‘Mbolang’ yaitu kegiatan ‘menjadi bocah petualang’ atau melakukan kegiatan petualangan. Tayangan ini selalu menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak dengan tokoh utama bernama Bolang. Bolang berkegiatan setelah pulang sekolah. Dalam tayangan ini, Bolang berpetualang membantu orang tua dan bermain di alam sekitarnya. Menyatu dengan alam. Yang tinggal di sekitar laut mereka bermain di laut dan pantai. Yang tinggal di dekat hutan mereka bermain dan belajar di hutan. Selain bermain juga mengajarkan untuk memanfaatkan alam sekitar dengan cara arif dan tetap menjaga kelestariannya.

Hilangnya Istilah ‘Gumelar’
Gumelar yang berkembang di kalangan pendidik sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama tokoh Agum Gumelar. Istilah ‘Gumelar’ yang berkembang dalam kalangan pendidik adalah akroim (singakatan) dari ‘Guru nyambi Makelar’ atau ‘Guru sekaligus Makelar’. Istilah ini muncul mengingat ada kegiatan guru yang sekaligus berdagang.

Kegiatan guru yang menyambi makelar karena kebutuhan ekonomi. Sudah jamak diketahui bahwa gaji seorang guru -apalagi yang belum PNS- sangat kecil. Sangat kurang untuk hidup layak. Maka muncullah istilah gumelar karena adanya guru yang mencari tambahan rejeki. Jika jadi full day school yang diwacanakan oleh Mendikbud Muhadjir jadi diterapkan, tidak ada lagi guru yang bisa mencari tambahan rejeki di luar sekolah.

Tambahan?

Mungkin pembaca yang budiman punya hal yang bisa hilang jika kebijakan sekolah sepanjang hari atau full day diterapkan?